Hustle Culture: Definisi, Penyebab, Dampak, dan Cara Menghindarinya

Diperbarui 01 Nov 2022 - Dibaca 9 mnt

Isi Artikel

    Dewasa ini, hustle culture adalah istilah yang sering didengar di dunia pekerjaan.

    Ada yang merasa ini merupakan hal baik, ada juga yang menentangnya habis-habisan karena dampak buruknya untuk jangka panjang.

    Supaya bisa mempersiapkan diri, Glints sudah menyiapkan penjelasan mengenai apa itu hustle culture, dampak buruknya, dan juga bagaimana kamu bisa menghindarinya.

    Yuk, simak lebih lanjut!

    Apa Itu Hustle Culture?

    Memiliki rutinitas sehari-hari memang tak ada salahnya. Namun, apa jadinya kalau hidupmu hanya berputar di sekitar pekerjaan saja?

    Bangun tidur, langsung cek email kerja. Di kantor, bekerja tak kenal lelah dan sampai rumah pun masih menyelesaikan pekerjaan.

    Itu merupakan salah satu contoh hustle culture yang sering ditemui di lingkungan kerja.

    Impact Plus menyebutkan, hustle culture adalah standar di masyarakat yang menganggap bahwa kamu hanya bisa mencapai sukses kalau benar-benar mendedikasikan hidupmu untuk pekerjaan dan bekerja sekeras-kerasnya.

    Istilahnya sesederhana workaholism, tetapi dibalut dengan sebutan yang terlihat lebih keren saja.

    Budaya ini menjadi suatu hal yang normal karena tidak dibuat batasan jelas antara kehidupan profesional dan pribadi.

    Hasilnya? Ingin sukses dan produktif, tapi justru jadi tidak memikirkan kesehatan fisik dan mental.

    Baca Juga: Awas! Perhatikan 7 Dampak Kerja Lembur Berikut Ini

    Atasan bisa meminta bawahannya untuk melakukan apa saja tanpa kenal waktu, bawahan pun merasa punya tuntutan untuk memenuhi hal tersebut.

    Sebenarnya memang tak salah kalau ingin bekerja keras dan mengedepankan pekerjaan. Namun, akan berdampak buruk kalau kamu sampai tidak bisa menikmati hidup dan tak punya prioritas lain selain bekerja.

    Penyebab Hustle Culture

    Beberapa penyebab hustle culture adalah hal-hal di bawah ini.

    1. Toxic positivity

    Toxic positivity adalah paham yang menyebutkan bahwa tak peduli sesulit apa pun keadaanmu, kamu harus tetap bersikap positif.

    Terdengar tidak ada yang salah, bukan? Namun, paham ini membuat orang-orang memaksakan diri untuk selalu menahan emosi negatif.

    Padahal, emosi negatif seharusnya diterima agar lebih mudah untuk diatasi ke depannya.

    Contoh dari toxic positivity adalah kalimat berikut yang pasti sering kamu dengar, “kamu lelah, semua orang juga lelah. Jika kamu komplain terus kapan suksesnya? Mereka bisa, kamu juga harus bisa, dong.”

    2. Tidak mengenal diri sendiri

    Kamu dapat terhindari dari jebakan hustle culture ketika telah mengenal diri sendiri dengan baik, serta mengetahui apa tujuan hidupmu ke depannya.

    Salah satunya adalah mengetahui apa career goal yang ingin dicapai.

    Dengan begitu, kamu tak akan mudah mengikuti standar sukses orang lain, apalagi mengambil keputusan karier yang sebenarnya tak sesuai dengan goal-mu.

    3. Perkembangan teknologi

    Ternyata, perkembangan teknologi juga membuat hustle culture ini semakin langgeng, lho.

    Bagaimana tidak, saat ini ada banyak kesempatan remote working yang mempermudah orang-orang untuk bekerja tanpa harus memikirkan perjalanan pulang pergi.

    Semua proses komunikasi dapat dilakukan sangat mudah hanya bermodalkan internet.

    Kemudahan inilah yang membuat orang-orang akhirnya merasa bahwa hustle culture merupakan sesuatu yang dapat dilakukan, padahal sudah melewati batas kemampuan mereka.

    4. Standar sosial masyarakat

    Masyarakat sering berasumsi bahwa semakin sibuk seseorang, artinya mereka semakin sukses.

    Banyak juga yang masih mengaitkan definisi sukses berdasarkan jabatan, uang, atau harta lainnya.

    Belum lagi target-target hidup yang tak realistis dan belum tentu sesuai untuk semua orang, seperti harus punya tabungan 1 milyar di usia 25, punya mobil di usia 25, dan sebagainya.

    Kondisi ini yang membuat orang-orang terpaksa mengikuti standar sosial tersebut, karena jika tidak, mereka akan dilihat sebagai orang yang belum sukses.

    Baca Juga: 4 Perbedaan Psikolog, Psikiater, dan Konselor, Mana yang Lebih Tepat Untukmu?

    Dampak Buruk Hustle Culture

    hustle culture adalah

    © Freepik.com

    Berikut ini adalah beberapa dampak buruk hustle culture yang bisa kamu rasakan:

    1. Burnout

    Burnout adalah kondisi di mana kamu benar-benar mengalami kelelahan fisik, emosi, dan juga mental. Hal ini bisa disebabkan karena kebanyakan bekerja.

    Jadi, burnout tentunya lebih dari sekadar hilangnya motivasi atau munculnya rasa malas dalam diri.

    Ada banyak tanda-tandanya yang perlu kamu kenali supaya bisa lebih cepat diatasi, di antaranya adalah:

    • mudah marah
    • sakit kepala kronis
    • tidak produktif di tempat kerja
    • merasa terjebak dan tak bisa melakukan apa-apa
    • selalu meragukan diri sendiri
    • terlalu sering menunda pekerjaan

    2. Terkena penyakit fisik

    Tubuh manusia tidak bisa dibohongi. Mau sekuat apa pun tenagamu, pasti ada kalanya tubuh mulai tak bisa berfungsi seperti seharusnya karena kelelahan.

    Apalagi karena pola makan dan pola tidur yang tidak teratur. Ini merupakan efek samping dari hustle culture yang sering kali tak bisa kamu hindari.

    Kelelahan dapat meningkatkan risiko berbagai penyakit, mulai dari penyakit jantung, stroke, dan tekanan darah tinggi.

    3. Tidak punya waktu untuk kehidupan pribadi

    Work-life balance sangatlah penting untuk menyeimbangkan kesehatan mental yang mungkin terkuras selama bekerja.

    Kamu bisa refreshing dan melakukan hal-hal yang disukai bersama orang-orang terkasih.

    Beda cerita jika kamu telah mengikuti hustle culture yang pastinya akan menyita sebagian besar waktu istirahatmu.

    Jangankan untuk menghabiskan waktu bersama orang lain, waktu untuk istirahat pun dialokasikan hanya ketika ingat saja.

    4. Tak pernah puas dengan hasil kerja

    Orang yang telah terjebak dalam kultur ini akan sulit berhenti membandingkan diri dengan orang lain dan cenderung tak pernah puas.

    Demi mengikuti standar yang kurang realistis, mereka akan rela mengambil beban atau kerja tambahan hanya untuk dianggap sukses.

    Kalau ditanya apa dampak baik hustle culture, bisa dibilang hampir tak ada.

    Istilahnya seperti ini, atasan sering menghubungi di akhir pekan dan malam hari, meminta kamu untuk mengerjakan planning untuk sebuah proyek.

    Merasa harus memenuhi standar hustle culture agar bisa sukses, kamu pun menyanggupinya terus-menerus.

    Nah, dari riset Forbes kita bisa menyimpulkan bahwa hustle culture adalah budaya yang sia-sia.

    Baca Juga: 5 Cara Mengatasi Burn Out agar Mental Tetap Sehat

    Cara Menghindari Hustle Culture

     

    Lalu, bagaimana cara menghindarinya? Apa yang harus dilakukan kalau atasan menerapkan budaya ini dalam pekerjaan sehari-hari?

    1. Jangan membandingkan diri dengan orang dari media sosial

    Salah satu sumber tekanan yang menciptakan hustle culture itu sendiri adalah media sosial.

    Semua orang ingin terlihat sukses dan mapan dengan pekerjaannya, lalu dengan bangga memamerkan bekerja tengah malam atau di akhir pekan, dan sebagainya.

    Nah, jangan bandingkan dirimu dengan mereka atau bahkan membuat ekspektasi lebih terhadap diri sendiri hanya karena orang lain melakukan hal tersebut. 

    Setiap orang punya pace masing-masing, jangan takut terlihat tidak sukses atau terlambat mencapai posisi yang “seharusnya” dicapai.

    2. Cari hobi di luar pekerjaan

    Dilansir dari New York Times, mencari waktu luang untuk menjalani hobi dan apa pun itu yang dicintai bisa buat hidupmu lebih seimbang.

    Istilah yang mungkin lebih familiar untukmu, work-life balance.

    Jangan biarkan pekerjaan memakan seluruh waktu dan hidupmu. Namun, jangan terlalu leyeh-leyeh juga.

    Carilah titik paling seimbang di tengah-tengah.

    Baca Juga: 8 Tips untuk Work Life Balance Yang Lebih Baik dan Maksimal

    3. Tahu batasan diri

    Cara terakhir untuk menghindari terjebak dalam hustle culture adalah mengetahui batasan diri dan membuat batasan yang jelas.

    Tahu kapan harus bilang tidak dan berani untuk mengatakannya. Tahu kapan badan sudah meminta untuk istirahat, tahu kapan bisa diajak bekerja keras.

    Intinya, jangan sampai memaksakan diri hanya karena ingin memenuhi standar yang bisa dibilang tidak manusiawi.

    4. Tingkatkan self awareness

    Supaya tidak mudah ikut-ikutan standar orang lain, kamu harus mengenal diri sendiri lebih jauh lagi.

    Self awareness ini ada banyak sekali bentuk aktualisasinya, seperti:

    • mengerti emosi yang sedang kamu rasakan
    • tahu apa yang kamu inginkan
    • tahu apa hal yang paling penting untuk hidupmu
    • mampu mengelola emosi positif dan negatif dengan baik

    5. Niatkan diri untuk beristirahat

    Tanda-tanda awal terjebak dalam hustle culture adalah ketika kamu mulai mengesampingkan waktu istirahat.

    Apabila perlu, atur waktu istirahat di Google Calendar supaya bisa jadi pengingatmu setiap saat bahwa kesehatan harus selalu menjadi nomor satu.

    Kuatkan komitmenmu untuk bekerja secukupnya saja supaya bisa tetap menjalani pola hidup sehat.

    Hustle culture adalah budaya yang bisa pelan-pelan dihilangkan, kalau tiap orang bisa membatasi diri dan menghargai orang lain.

    Lagi pula, yang paling penting kamu mencapai target yang dibuat dan mengerahkan tenaga semaksimal mungkin, kan?

    Selain hustle culture, ada banyak pembahasan lain yang masih berkaitan dengan kesehatan mental di tempat kerja yang bisa kamu pelajari di Glints Blog!

    Akan tetapi, kesehatan mental dan fisik sama pentingnya terutama bagi pekerja yang harus sehat jasmani serta rohani supaya bisa mempertahankan performance yang baik di tempat kerja.

    Jadi, yuk, pelajari lebih banyak artikel tentang kesehatan kerja sekarang juga! Semuanya gratis.

    Seberapa bermanfaat artikel ini?

    Klik salah satu bintang untuk menilai.

    Nilai rata-rata 4.6 / 5. Jumlah vote: 8

    Belum ada penilaian, jadi yang pertama menilai artikel ini.

    We are sorry that this post was not useful for you!

    Let us improve this post!

    Tell us how we can improve this post?


    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *

    Artikel Terkait