Apa Itu Adhocracy Culture, Kultur Perusahaan yang Diterapkan Facebook
Isi Artikel
Budaya kerja bisa jadi salah satu faktor yang membuat kamu bertahan di perusahaan. Nah, adhocracy culture adalah salah satu budaya kerja yang mungkin dicari para pemilik kreativitas tinggi.
Dinamika yang tinggi dan keterlibatan setiap anggota tim menjadi hal utama yang dituntut pada budaya kerja ini.
Yuk, kenali lebih lanjut mengenai adhocracy culture berikut ini.
Apa Itu Adhocracy Culture?
Merangkum dari McKinsey, adhocracy culture adalah budaya kerja yang mengutamakan fleksibilitas, improvement, dan eksperimen.
Istilah ini pertama kali dipakai oleh Alvin Toffler pada sekitar 1970.
Sederhananya, Investopedia menyebut adhocracy culture merupakan kebalikan dari hierarchical culture yang rumit dengan birokrasi.
Hal yang paling membedakan budaya kerja ini dibandingkan yang lainnya adalah dalam pengambilan keputusan.
Pada perusahaan yang mengadopsi adhocracy culture, pengambilan keputusan sering kali berangkat dari intuisi dan tindakan yang cepat, dibandingkan teori.
Misalnya saja, saat diharuskan mengambil keputusan sulit, perusahaan yang menganut hierarchical culture mungkin akan secara otomatis meneruskannya kepada atasan.
Nah, di perusahaan dengan adhocracy culture, anggota tim bisa langsung mengambil bertindak mengambil keputusan berdasarkan intuisi.
Eksperimen sangat terasa kental pada budaya kerja ini. Namun, tentu saja tetap dengan pertimbangan yang terukur, ya.
Budaya perusahaan semacam ini mungkin akan lebih banyak ditemui pada perusahaan start-up dan berbasis digital.
Facebook adalah salah satu perusahaan yang mengadopsi adhocracy culture ini.
Ciri Adhocracy Culture dalam Perusahaan
Breathe HR menuliskan beberapa karakteristik dari perusahaan yang mengadopsi adhocracy culture.
1. Pola pikir adaptif
Dalam pengambilan keputusan, perusahaan dengan kultur adhocracy akan melihat yang sedang terjadi dan berusaha untuk mencari jalan lain.
Terlebih jika kemungkinan kedua jalan tersebut sama-sama memiliki risiko.
Mereka yang senang berpikir out of the box dan kemudian mewujudkannya cenderung menyukai budaya kerja adhocracy.
Ritme kerjanya pun jadi lebih cepat. Ketika menemui suatu masalah, dengan cepat para anggota tim harus menemukan solusi yang baru.
Tentu, ini juga punya kekurangannya. Ritmenya yang cepat membuat kamu hanya punya sedikit waktu untuk menguji apakah teori atau keputusan yang kamu ambil sudah sesuai.
Itu sebabnya, kamu perlu kepercayaan diri dengan segala data pendukung sebelum akhirnya ketuk palu untuk menjalankannya.
2. Situasi kerja yang fleksibel
Bisa dibilang, adhocracy culture adalah budaya kerja yang sangat cocok bagi milenial.
Kebanyakan kaum milenial berpegang pada prinsip bahwa bekerja dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja.
Kita tak perlu lagi terikat pada jam kantor yang kaku ataupun kubikel kantor yang itu-itu saja.
Sebelum WFH populer, kantor yang menganut budaya adhocracy sudah menetapkannya lebih dulu. Itu sebabnya budaya kerja start-up dinilai cocok bagi pasar milenial.
Tantangannya, diperlukan komitmen dari setiap orang untuk tetap disiplin pada masing-masing pekerjaan.
Mengingat, atasan kamu tidak mungkin memperhatikan kamu secara terus-menerus, seperti ketika kamu di kantor, bukan?
3. Mengikuti tren terbaru
Mengikuti perkembangan terbaru bisa membuat kamu dan perusahaan bermain di posisi puncak. Artinya, kamu dan perusahaan tidak akan tertinggal dari keramaian yang ada.
Jadi perusahaan akan selalu up-to-date mengikuti perkembangan zaman. Keuntungannya, untuk tetap menjadi pertama dalam industri.
Ini tentu jadi angin segar buat para pelaku industri kreatif. Mereka akan dituntut untuk update, demi mengetahui baru produk apa yang bisa dihasilkan.
Hal ini bahkan bisa menghasilkan hal yang ternyata kamu butuhkan. Kuncinya di eksperimen dan berpikir out of the box.
4. Dinamis
Salah satu ciri utama yang tak bisa lepas dari adhocracy culture adalah dinamis. Budaya kerja adhocracy menuntut inovasi terus-menerus.
Kamu dan manajer kamu mungkin akan sering mengevaluasi hasil pekerjaanmu, melihat celahnya, dan berusaha memperbaikinya untuk mendapatkan hasil yang lebih baik lagi.
Cara ini mampu menumbuhkan rasa kepemilikan di setiap anggota tim. Manfaatnya, kamu mungkin merasa lebih didengar.
Dengan kata lain, employee engagement di sini dapat terbangun dengan baik.
Namun, kekurangann,ya jika tim atau perusahaan berisi para expert yang gemar bekerja secara individu, kepentingan perusahaan kadang sering jadi abu-abu dengan kepentingan personalnya.
Nah, inilah yang mungkin menjadi konflik. Di sini, peran manager tentu sangat besar untuk menyatukan pandangan demi tujuan perusahaan.
Plus dan Minus Adhocracy Culture
Sama seperti budaya kerja lain, budaya adhocracy juga punya plus minusnya.
Masih mengutip Investopedia, inilah keuntungan adhocracy culture:
- sangat efektif untuk masalah problem solving dan inovasi
- kamu bisa berkembang dalam lingkungan dan skill yang beragam
- inovasi dan teknologi bisa menghemat waktu dan sumber daya
Akan tetapi, karena cirinya yang cepat, dinamis, dan fleksibel, beberapa kekurangan adhocracy culture adalah:
- keputusan yang muncul mungkin saja belum matang
- ritme kerja yang begitu cepat tidak cocok dengan semua orang
- mudahnya burnout dan stres
Lingkungan kerja tentu jadi salah satu pertimbangan kamu dalam memilih dunia kerja. Sayangnya, kamu tidak akan benar-benar tahu sampai kamu terjun di dalamnya.
Itulah yang harus kamu tahu tentang adhocracy culture dalam perusahaan. Jadi menurutmu perusahaanmu sudah menerapkan budaya ini belum?
Yuk, pelajari dan cari tahu lebih banyak tentang budaya perusahaan. Glints sudah siapkan kumpulan artikel terkait hanya untuk kamu.
Cek selengkapnya di sini!