Mengenal Jurnalisme Data, Praktik Pemberitaan Berkualitas dan Kekinian
Kata siapa satu-satunya fungsi jurnalisme data (JD) atau data journalism adalah melawan hoaks?
Teknik pemberitaan yang satu ini punya manfaat lainnya, lho. Kira-kira, apa sajakah itu?
Dalam artikel ini, Glints akan menjelaskan manfaat dari JD. Selain itu, ada pula penjelasan soal apa itu JD dan penerapannya di Indonesia.
Isi Artikel
Apa Itu Jurnalisme Data?
Sebenarnya, ada perbedaan tafsir soal pengertian dari JD. Hal ini dituliskan oleh Adek Media Roza, peneliti Katadata Insight Center, dalam Katadata.
Ada yang mengatakan, data journalism adalah penciptaan berita dengan pemanfaatan big data.
Ada pula yang berpendapat, JD merupakan pemanfaatan software pengolahan data. Dalam software itu, data dianalisis dan divisualisasikan.
Definisi yang kedua mirip dengan yang dituliskan Nicolas Kayser-Bril, jurnalis data dari Eropa.
Dalam DataJournalism, bersama timnya, ia menjelaskan dua tingkat pemrosesan data dalam jurnalisme, yakni:
- analisis data hingga menjadi jelas (memberikan sense)
- penyajian data untuk audiens atau pembaca
Terlepas dari definisinya, dalam JD, data dianalisis dan digunakan untuk keperluan pemberitaan.
Mengutip American Press Institute, ini jugalah yang membedakan jurnalisme data dengan jurnalisme biasa.
Di dalam JD, seorang jurnalis harus mencari, menganalisis, hingga menyajikan data untuk keperluan pemberitaan.
Mengapa Jurnalisme Data Penting?
Nah, sekarang, kenapa jurnalis harus susah-susah mengotak-atik data? Apakah fakta biasa saja masih kurang?
Ternyata, penggunaan data dalam berita punya sederet keunggulan, lho. Keunggulan itu di antaranya:
1. Berita lebih utuh
Dari sisi si A, kejadian X berdampak buruk. Meski begitu, dari sisi B, ada dampak baik yang muncul karena X.
Lain halnya dengan sisi C. Memang, X tak memiliki dampak baik langsung. Meski begitu, X memicu Y yang punya peran besar bagi C.
Kisah-kisah di balik cerita ini bisa terungkap lewat jurnalisme data. Dengan alasan inilah, data sangat bermanfaat untuk karya jurnalistik.
Ini biasanya diterapkan dalam pemberitaan debat politik. Saat politisi A mengatakan X, ternyata itu memang sesuai fakta, namun ada pihak yang dirugikan.
2. Memperjelas maksud
Misalnya, komputer 1 lebih murah daripada komputer 2. Sayangnya, saat membeli komputer 1, banyak orang yang kerap harus mengeluarkan uang lebih untuk reparasi.
Dengan alasan ini, pembelian komputer 2 lebih menguntungkan. Sayangnya, perakitan komputer 2 dampak buruk bagi lingkungan.
Komputer 2 juga punya harga lebih mahal. Kamu pun harus menabung lebih lama untuk membelinya.
Dengan alasan ini, banyak waktu yang kamu buang untuk memakai komputer lamamu. Padahal, dalam waktu itu, kamu bisa menghasilkan uang lebih banyak jika membeli komputer 1.
Bagaimana cara menggambarkan harga, keuntungan, hingga dampak buruk lingkungan ini? Jurnalisme data adalah jawabannya.
Dengan menyajikan analisis hingga visualisasi data, pembaca bisa memahami apa yang kamu maksud.
Meski pertimbangannya kompleks, mereka tetap bisa memilih komputer dengan tepat. Sebab, mereka sudah mendapat informasi yang jelas.
3. Lebih efisien
Jurnalis sering kali menemukan data yang sama atau mirip saat bekerja. Ini tentu membuat pembuatan berita tak kunjung selesai.
Lalu, harus bagaimana? Tenang saja, data journalism adalah solusinya.
Mengutip The Writers College Times, dalam JD, data-data yang banyak akan dirapikan dan dikumpulkan menjadi satu.
Ini tentu bisa membuat kerja jurnalis semakin cepat, namun juga tepat. Tak perlu lagi menemukan data yang sama secara berulang.
4. Menekan berita bohong
Di era digital, di mana hoaks menyebar di banyak tempat, JD menjadi penting.
Sebab, dalam praktik jurnalisme ini liputan tak asal dilakukan. Berita yang ada didasarkan pada data dan fakta yang sudah dianalisis.
Perkembangan Jurnalisme Data
Meski sedang booming di zaman sekarang, jurnalisme data bukan produk baru, lho.
Pada tahun 1858 silam, teknik ini sudah pernah dipakai. Melansir The Guardian, pihak yang menerapkannya adalah Florence Nightingale, seorang perawat Inggris.
Pada saat itu, ia mengkaji data kematian tentara Inggris dalam perang.
The Guardian sendiri juga punya liputan data yang usianya jauh lebih tua. Ia diterbitkan pada 5 Mei tahun 1821.
Saat itu, nama mereka masih The Manchester Guardian. Mereka meliput biaya sekolah hingga jumlah siswa di Manchester dan Salford, Inggris.
Di era modern, praktik jurnalistik ini banyak digunakan oleh New York Times hingga The Guardian. Meski begitu, Indonesia juga punya media dengan teknik pemberitaan JD, lho.
Nama-namanya dituliskan oleh Aghnia Adzkia, mantan jurnalis CNNIndonesia.com, dalam Remotivi, yakni:
- Majalah Prisma
- Harian Kompas
- Majalah Tempo
- Katadata
- Tirto
- Beritagar
- beberapa praktik dalam Kumparan, CNBCIndonesia.com, hingga detik.com
- dan lain-lain
Demikian informasi dari Glints soal jurnalisme data. Ternyata, praktiknya punya segudang manfaat, ya!
Sayangnya, mengutip Kompas, tak semua wartawan punya skill untuk teknik pemberitaan ini. Masih ada jurnalis yang harus mengasah kemampuan membaca dan mengeksplorasi data.
Apakah kamu salah satunya? Jika begitu, kamu tak perlu kebingungan. Glints punya solusinya.
Ikuti saja pelatihan Glints ExpertClass. Dalam kelas ini, kamu akan bertemu dengan praktisi hebat di bidang data, hingga media dan komunikasi.
Kamu akan banyak belajar dari mereka, mulai dari teori hingga praktiknya. Ingin membuat liputan yang diperkaya data? Tidak masalah.
Psst, kuota kelas ini terbatas, lho. Jadi, daftarkan dirimu sebelum kehabisan, ya!
- Adek Media Roza : Tantangan Jurnalisme Data di Era Hoaks dan Disinformasi
- Why Is Data Journalism Important?
- How data journalism is different from what we’ve always done
- 7 Reasons Why Journalists Should Use Data Journalism
- Florence Nightingale, datajournalist: information has always been beautiful
- The first Guardian data journalism: May 5, 1821
- Cerita Pakai Data, Bukan Asal Bicara
- Jurnalisme Data Jadi Pembeda Mutlak Media Arus Utama dari Pendengung